Ringkasan Kasus
Awal terbongkarnya kasus menghebohkan
ini tatkala BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus 2003. Dari audit
itu diketahui bahwa ada posisi euro yang gila-gilaa besarnya, senilai 52 juta
euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran
euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu.
Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar dan negara
bakal rugi lebih satu triliun rupiah.
Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI
tersebut adalah sebagai berikut :
- Waktu kejadian : Juli 2002 s/d
Agustus 2003
- Opening Bank : Rosbank
Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle
East Bank Kenya Ltd.
- Total Nilai L/C : USD.166,79
juta & EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 trilyun
- Beneficiary/Penerima
L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo
Group
- Barang Ekspor : Pasir Kuarsa
dan Minyak Residu
- Tujuan Ekspor : Congo dan
Kenya
- Skim : Usance L/C
Kronologi :
1.Bank BNI Cabang Kebayoran Baru
menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank
Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd. Oleh
karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan sebagian bank
tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank dan
Standard Chartered Bank.
2. Beneficiary mengajukan permohonan
diskonto wesel ekspor berjangka (kredit ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas
kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp 1,6
trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105 milyar.
3. Setelah beberapa tagihan tersebut
jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak
bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
4. Setelah diusut pihak kepolisian,
ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah terjadi.
5.Gramarindo Group telah
mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun) merupakan potensi
kerugian BNI.
Dalam menanggapi kasus ini manajemen
Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian,
tetapi yang ada hanya potensi kerugian (potential losses).
Pertanyaannya adalah apakah mungkin
kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor fiktif ? Minimnya informasi mengenai
sistem pembayaran perdagangan internasional melalui letter of credit (L/C)
menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan mengenai kasus pembobolan Bank BNI.
Solusi
Sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau.
Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah.
Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus bijak dan mampu membangun prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan, namun pelayanan bank memuaskan bagi nasabah.
Dari penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI ini merupakan transaksi bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan intern Bank BNI. Transaksi L/C kedua grup usaha yang menjadi beneficiary telah dinegosiasikan oleh Bank BNI Kebayoran Baru dengan diskonto tanpa didahului adanya akseptasi dari bank penerbit.
Di samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung penyimpangan dan negosiasi L/C dilakukan tanpa kelengkapan dokumen.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh kantor besar Bank BNI, para eksportir, yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan ekspor fiktif.
Hal ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi kepada Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyangkut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyatakan bahwa PEB tersebut palsu.
Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran hasil transaksi ekspor (proceed) dari beberapa slip L/C tersebut yang telah dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank pembuka L/C (issuing bank), melainkan dilakukan oleh para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran atau melalui pendebetan rekening para eksportir tersebut.
Sebagaimana diketahui, atas laporan kantor besar Bank BNI pada tanggal 30 September 2003, pihak kepolisian telah menahan pegawai Bank BNI Kebayoran Baru yang terlibat, yaitu Koesadiyuwono (mantan pemimpin cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan Customer Service Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).
Sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau.
Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah.
Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus bijak dan mampu membangun prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan, namun pelayanan bank memuaskan bagi nasabah.
Dari penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI ini merupakan transaksi bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan intern Bank BNI. Transaksi L/C kedua grup usaha yang menjadi beneficiary telah dinegosiasikan oleh Bank BNI Kebayoran Baru dengan diskonto tanpa didahului adanya akseptasi dari bank penerbit.
Di samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung penyimpangan dan negosiasi L/C dilakukan tanpa kelengkapan dokumen.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh kantor besar Bank BNI, para eksportir, yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan ekspor fiktif.
Hal ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi kepada Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyangkut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyatakan bahwa PEB tersebut palsu.
Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran hasil transaksi ekspor (proceed) dari beberapa slip L/C tersebut yang telah dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank pembuka L/C (issuing bank), melainkan dilakukan oleh para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran atau melalui pendebetan rekening para eksportir tersebut.
Sebagaimana diketahui, atas laporan kantor besar Bank BNI pada tanggal 30 September 2003, pihak kepolisian telah menahan pegawai Bank BNI Kebayoran Baru yang terlibat, yaitu Koesadiyuwono (mantan pemimpin cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan Customer Service Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).
Sumber:http: //irsan90.wordpress.com/2012/03/26/letter-of-credit-dan-contoh-kasus/